Friday, August 26, 2005

Menghilang dari Jakarta ketika Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 60

Image hosted by Photobucket.com
Deretan pancuran Naga, untuk permandian makhluk kasat mata

Selesai sarapan di hotel kita langsung cek out jam 08.00 kita sudah memanggil taxi untuk segera pergi ke Mataram. Jam 08.40 kita sampai di Mayura Water Palace. Makan waktu agak lama karena macet. Kantor Gubernuran jadi tempat upacara 17an.



Thursday, August 25, 2005

Menghilang dari Jakarta, hari ke 3, Selasa 16 Agustus 2005. Gili Terawangan ke Sengigi

Bangun jam 08.00 terus kita sarapan dilayani sama Eko. Gua makan roti dan telur, Fika sarapan banana pancake. Maunya sih nasi goreng sayang nggak tersedia. Dasar perut Melayu. Abis sarapan kita mandi dan langsung cek out.

Jam 10.30 kita udah nunggu public boat di pelabuhan ternyata baru jalan tuh public boat jam 12.30, pas kuota penumpang sudah terisi. Lama nunggu penuhnya. Kalao mau pergi dari Gili Terawangan lebih baik pagi hari jam 08.00 atau 09.00. Kita sempet ditawarin buat carter Rp 300.000,- ke Bangsal disangkain turis dari Thailand kali ya diajak ngomong Inggris.

Perjalanan pulang kali ini ombak ada besar, perahu terombang-ambing dan kadang lunas kapal menghajar lembah ombak menimbulkan bunyi yang keras. Mana nggak ada cadiknya lagi, tambah serem aja. Untung langit cerah dan Bangsal sudah kelihatan, tapi masalah lain timbul waktu mau merapat. Ombak besar menyulitkan untuk merapat hamper 15 menit kita muter-muter, bolah balik mencari posisi yang pas. Jangkar yang sudah dibuang ke laut di tarik lagi. Perahu berputar dan ombak besar menghajar sisi perahu membuat air masuk ke dalam.

Setelah selesai dengan horror itu segera telepon Lombok Taxi minta jemput di terminal Bangsal. Kita jalan kaki ke terminal dan Taxi sudah menunggu di sana. Langsung menuju ke Senggigi, malam ini kita menginap di Puri Saron. Perjalanan melewati bukit-bukti sepanjang pantai. Udara di luar panas terik dan matahari menyilaukan mata untungnya kita di taxi ber ac jadi nggak kerasa panasnya.. Pemandangan menuju ke Senggigi bagus. Laut yang bergradasi dari biru tua ke biru muda dan hijau muda, pohon kelapa yang melambai-lambai, pasir putih pantai, perahu-perahu yang sedang melaut kontras dengan sisi kanan jalan. Bukit-bukit yang gersang, tidak ada pohon besar yang ada hanya pohon-pohon kecil dan semak belukar.

Sampailah kami di Hotel, urusan dengan taxi diselesaikan dengan membayar Rp 50.000,- Hotel kita menginap Puri Saron agak di luar kota Senggigi jadi harus naik angkot sebentar ke pusat kota Senggigi. Selesai cek in dan beres-beres kita cari makan siang di Senggigi. Nggak ada warung di Senggigi yang ada café dan restaurant besar. Warung Padang hanya ada 1 dan warung tenda yang buka kalau sudah sore juga hanya ada 1. Kota Senggigi hanya sebaris di jalan raya Senggigi saja. Sepi sekali kalau dibandingkan dengan Kuta, Bali ataupun dengan Gili Terawangan. Saran gua sih… nggak usah mampir di Senggigi, langsung ke Gilis aja.

Setelah makan kita kembali ke hotel, baca buku di kolam renang dan main ke pantai. Menjelang sore kita menuju ke Pura Batu Bolong. Sumbangan sukarela di pintu masuk pura. Sebenarnya matahari tenggelam bisa dinikmati dari pantai mana saja di Senggigi. Di pinggir jalan yang menghadap ke laut banyak tukang jualan jagung bakar dengan bangku yang dihadapkan ke laut.

Image hosted by Photobucket.com
Pura Batu Bolong menjelang sun set


Kebetulan sedang ada upacara agama di Pura sehingga kita nggak bisa naik ke Pura, sunset kita nikmati dari bale bengong yang ada di depan pura. Sayang kali ini tertutup awan dan Gunung Agung tidak kelihatan.
Transportasi di Senggigi bisa naik angkot yang melayani trayek dari terminal Mandalika ke Senggigi ujung (Holiday Inn) kalo hanya di sekitaran Senggigi bayar per orang hanya sekitar Rp 2.000,- saja atau dengan taxi.


Wednesday, August 24, 2005

Menghilang dari Jakarta, hari ke 2 di Gili Terawangan

Sunrise membangunkan kami dari balik jendela kamar, hari belum lagi terang ketika aku mengendap ke balkon. Penduduk kampung sedang mandi dan mencuci pakaian di empat buah pancuran yang mengalirkan air dengan deras lembah bawah. Ternyata sudah jam 06.00 dan Rinjani masih terlihat diselimuti kabut dan awan dingin. Nampaknya hari ini juga tidak akan terlihat jelas kemegahan Rinjani.

Jam 08.00 kita jalan kaki ke Pasar Suranadi untuk sarapan dan pamitan dengan Bu Surya, tujuan kita hari ini ke Gili Terawangan. Transportasi di Lombok nggak susah kalo mau agak repot bisa menggunakan angkutan umum tapi kita mau rada enak, jadi kita telpon Lombok Taxi 0370-627000 minta jemput di Pasar Suranadi. Jam 08.30 kita berangkat dari Suranadi menuju ke Bangsal, perjalanan nyaman melewati bukit-bukit setelah hampir 1 jam sampailah kami di Bangsal dengan membayar Rp 70.000,- Bangsal ke Pelabuhan laut hanya berjarak 200 meter tetapi kendaraan tidak boleh masuk ke sana sehingga harus jalan kaki atau memilih naik Cidomo Rp 2.000 / orang. Kalau membaca buku Lonley Planet mengenai Bangsal ini kesannya tempat yang sangar, sampai ada kolom khusus dengan judul “Dealing With the Bangsal Mafia” . Kami sudah siap-siap menghadapi kondisi itu tapi apa yang kami temui ternyata biasa aja. Turist asing yang lain juga biasa aja. Come on …. Lonley Planet jangan terlalu memperbesar masalah. Kami memilih naik public boat dengan membayar Rp 6.000 / orang. Bisa juga carter tapi mahal isi berapa aja jalan, asal bayar Rp 200.000,- Public boat baru jalan begitu penumpang mencapai 20 orang, sekitar 20 menit kami menunggu dan tak lama kemudian kami sudah berada di laut yang tenang menyeberang ke Gili Terawangan. Lima puluh menit di laut merapatlah perahu di pantai Gili Terawangan. Pasir putih dan deburan ombak menyambut kami. Kami memilih berjalan kearah Kanan pelabuhan untuk mencari penginapan. Bulan Agustus merupakan bulan yang penuh pengunjung di Kepulauan Gili Air, Meno dan Terawangan. Akibatnya harga-harga menanjak naik dan sulit mendapatkan kamar. Setelah berjalan di pantai hampir setengah jam akhirnya kami mendapatkan kamar yang kami mau.

Blue Beach Cottages 0370- 623538, beberapa hari sebelum berangkat di telpon dan nanya ratenya, mereka bilang Rp 120.000,- per malam dan nggak bisa booking, lagi rame kata mereka. Lonley Planet bilang per malam Rp 170.000,- ternyata setelah kita datangi Blue Beach Cottages mematok harga Rp 200.000,- per malam. Wahhh... Nggak membedakan turis lokal maupun asing, tetep kena harga segitu. Pas kita ngecek kondisi kamar ternyata tinggal satu kamar dan di belakang kita sudah ada dua turis yang sedang mencari kamar juga, wah harus buru-buru memutuskan nih. Kita ambil jadinya dengan pertimbangan jalan sedikit sudah sampai di tepi pantai dapat sarapan pagi pula. Ya harga itu katanya untuk menutupi bulan-bulan yang sepi ketika susah mendapatkan tamu. Bulan Agustus, dan Desember sampai Januari terkenal sebagai bulan ramai, kalau mau murah jangan ke Kepulauan Gili Air, Meno dan Terawangan pada bulan itu.
Image hosted by Photobucket.com
Kamar di Blue Beach Cottages, pake kelambu padahal kagak ada nyamuk

Setelah meletakkan back pack di kamar, kami jalan-jalan sepanjang pantai. Kita cari info untuk snorkeling. Kalau mau murah dan bisa mengunjungi banyak tempat ada rombongan snorkeling tiap pagi dengan bayar Rp 45.000 per orang akan mengunjungi Gili Air dan Gili Meno. Berangkat dengan Glass Bottom Boat dan snorkeling sampai puas dari jam 09.00 kembali ke Gili Terawangan jam 15.30. Sayang karena kita datang siang hari dan besok pagi sudah cek out akhirnya kita carter glass bottom boat dan perlengkapan snorkeling serta life vest (tentu saja yang ini buat saya). Membayar Rp 220.000,- untuk snorkeling dua jam di Gili Meno dan Gili Terawangan. Tahu sih agak mahal tapi kapan lagi.

Pengalaman snorkeling pertama buat Fika dan dia yang turun dengan pelampung, saya sendiri nggak jadi snorkeling karena lautnya dalam paling dangkal 6 meter jadi nunggu di perahu aja dan denger cerita dia. Kata Fika, dia ngeliat banyak penyu yang sedang berenang (Gili Meno memang pulau untuk penangkaran Penyu), berbagai macam ikan bagus yang besar-besar. Dari Glass Bottom Boat juga kelihatan sih tapi nggak sebanyak kalau melihat langsung di bawah air.
Image hosted by Photobucket.com
Perahu dari Benoa

Selesai snorkeling kita cari makan siang, males milih-milih akhirnya makan di tempat kita nginep juga yang memang ada restaurantnya. Setelah mengamati dari datang ternyata hanya kita berdua turis lokal yang ada di pulau ini lainnya mayoritas Italiano dan sisanya Kaukasia lainnya.
Image hosted by Photobucket.com
Bagian depan, restaurant Blue Beach Cottages

Kita leyeh-leyeh di pantai sambil baca buku, tentu saja nggak kaya bule-bule itu, kita milih tempat yang adem. Sambil sesekali nyebur ke laut buat ndinginin badan. Gile banget nih pemandangan, keren banget. Air laut tergradasi dari warna biru gelap, biru lembut, biru muda sampai biru muda sekali dan bertemu dengan pasir putih pantai. Barisan pegunungan di Pulau Lombok membentuk pagar yang membentengi pulau-pulau ini, pada pagi hari kita bisa melihat Gili Meno dengan latar belakang sun rise di sisi Gunung Rinjani.
Image hosted by Photobucket.com
Pantai Gili Terawangan waktu pagi hari, belum pada bangun dan berjemur

Menjelang sore kita beranjak jalan mendaki bukit untuk mencari sun set. Bukit di Gili Terawangan ternyata sudah dipagari pada puncak-puncaknya, sehingga kita mesti ahli memilih jalan agar bisa melewati pagar yang ada. Sebenarnya jalan yang paling mudah adalah naik lewat tangga menara pemancar yang ada sampai ke puncak bukit, kita baru tahu jalur ini ketika pulang dari melihat sun set.
Image hosted by Photobucket.com
Sunset di puncak bukit Gili Terawangan

Kembali ke Blue Beach untuk mandi dan kita kemudian cari makan malam. Banyak pilihan restaurant, harga variasi untuk satu menu mulai 15.000,- – 50.000,- Kita memilih makan malam di tepi laut di Tir Na Nog. Gua makan tuna steak yang gedenya aujubileh, udah digelontor pake bir bintang juga cuman kuat makan ½ porsi aja. Tempat ini ngetop dengan bacon dan chesse burgers tapi … hey kita di pantai makan sea food dong.

Menghilang dari Jakarta, hari pertama di Suranadi

Hari Minggu tgl 14 Agustus 2005
Garuda 420 mengudara jam 10.25 untuk kemudian transit di Yogyakarta. Nggak lama kok transitnya hanya sekitar 30 menit. Di Adi Sucipto kita ketemu sama Tegar yang baru balik dari Prambanan (cerita lengkapnya bisa dibaca di blognya Tegar :
http://catatankecil.blogs.friendster.com
Jam 14.25 pesawat kita sudah mendarat di Bandara Selaparang yang terletak di kecamatan Ampenan. (Kalau mendengar Ampenan, Matram dan Cakranegara, jangan berpikiran itu tiga daerah yang berjauhan. Tiga kota itu bisa dibilang terletak di satu jalan raya dengan jarak sekitar 8 km). Tiket Soekarno Hatta ke Selaparang kita tebus dengan harga Rp 793.600,- per orang ada Lion yang lebih murah dengan transit 2 jam di Surabaya tapi pilihan jatuh ke Garuda karena transit hanya 30 menit.

Image hosted by Photobucket.com
Kolam Renang di Hotel Suranadi, airnya seger banget.

Setelah selesai konfirmasi ulang tiket Merpati untuk kembali ke Denpasar, aku segera menghubungi penjemput kita, Dwi. Ternyata Dwi masih dalam perjalanan sehingga kami menunggu di bandara sekitar 15 menit. Dwi adalah anak kedua Bu Surya, seorang pemilih restaurant di Suranadi, teman dekat Sarah yang rumahnya di Suranadi akan menjadi tempat kami menginap malam ini.

Setelah bertemu dan berkenalan dengan Dwi kami langsung menuju ke Suranadi. Perjalanan dari Selaparang ke Suranadi sekitar 30 menit. Suranadi bisa dibilang daerah yang tidak terlalu besar. Pintu masuk ke Suranadi adalah Hutan Wisata Alam, kita akan disambut oleh monyet-monyet yang menunggu di pinggir jalan, tak berapa jauh dari situ terdapat Pasar, Pura Suranadi dan Hotel Suranadi. Di Pasar Suranadi kita akan menemukan penjual dodol Suranadi dan sate sapi.

Hotel Suranadi berseberangan dengan Pura Suranadi. Pura Suranadi termasuk dalam salah satu Pura paling suci di Lombok. Pembakaran mayat (Ngaben) harus menggunakan air dari sumber-sumber air di Suranadi. Hotel Suranadi sendiri berdiri sejak jaman Belanda masih berkuasa di Indonesia. Nampaknya Suranadi mejadi daerah tujuan wisata tuan-tuan dan nyonya-nyonya dari Belanda. Hotel Suranadi dilengkapi dengan kolam renang yang sejuk malah agak dingin. Kolam dengan dasar bukan semen ataupun porselen tetapi taburan kerikil dan batu kali. Sekalian pijat kaki.

Image hosted by Photobucket.com
Keliatankan dasar kolamnya ? Memang dari batu-batu dasar Kolam Renang Suranadi, jadi bisa sekalian pijat kaki.

Sampai di Suranadi, kami langsung menuju ke restaurant lesehan Surya (semua restaurant yang kami temui di Lombok pasti ada lesehan di bawah dangau yang disebut Beraya). Rombongan pemyambut terdiri dari Bu Surya, pemilik restaurant dan pengelola penginapan Pondok Surya (cek di buku keluaran Lonley Planet tentang Suranadi pasti ada nama penginapan Pondok Surya yang sayangnya sedang direnovasi saat ini), Isodorus, penjaga rumah yang akan kami inapi nanti malam serta Anam guide dari Suranadi. Setelah berkenalan kami langsung diantar ke rumah Sarah yang akan kami inapi. Agak jauh dari Pura Suranadi sekitar 1 km perjalanan masuk ke perkampungan penduduk. Terletak di ketinggian dengan pemandangan di Timur rumah sebuah Pura dan empat buah pancuran yang selalu mengucurkan air dengan deras. Setiap hari penduduk sekitar menggunakan pancuran tersebut untuk mandi dan mencuci. Gunung Rinjani akan terlihat di sebelah Utara jika udara cerah pada pagi dan sore hari menjelang matahari tenggelam. Kami berdua hanya menaruh backpack di rumah dan kembali lagi naik mobil ke Restaurant Surya, laper euyyy udah jam 15.30 dan kami hanya makan roti tadi waktu di pesawat.

Image hosted by Photobucket.com
Menu makan siang di Restaurant Lesehan Surya di Suranadi, plecing kangkung dan ikan bakar......nyam.....nyammmm

Menu makan siang kami kali ini Plecing Kangkung (jadi makanan wajib kita selama di Lombok nih, kangkungnya kok beda ya sama yang biasa gua makan di Jakarta. Ini emang beneran beda atau hanya sensasi dan romantisme tempat aja) dan Ikan bakar.
Selesai makan siang kami jalan-jalan keliling Suranadi. Mulai dari Hotel Suranadi kita main di kolam renang yang jernih sekali airnya. Ada beberapa keluarga yang tengah berenang, dengan membayar Rp 6000 per orang kejernihan dan kedinginan di Kolam Renang Suranadi bisa kita rasakan.
Dari Kolam renang Suranadi kita jalan ke Pura sekitaran Suranadi. Jalan di antara sawah sampai akhirnya tembus di jalan raya. Kita melewati Hutan Wisata Alam yang banyak monyet menunggu di pinggir jalan, nggak masuk ke hutannya hanya jalan di depannya dari situ kita jalan-jalan di Pasar Suranadi. Liat-liat dodol dan makan sate sapi.
Sunset nggak keliatan jelas karena tenggelam di atas pucuk-pucuk pohon kelapa dan awan. Setelah gelap kita kembali ke rumah untuk mandi dan istirahat. Nggak lupa beli nasi putih buat makan malam, lauknya udah beli di Adi Sucipto waktu transit tadi siang. Fika beli Ayam Goreng Mbok Sabar, kangen dia sama tuh ayam goreng.
Image hosted by Photobucket.com
Sate Sapi, mau daging atau hati atau jeroan lainnya ? Lontongnya kecil-kecil.


Tuesday, August 23, 2005

Soe Hok Gie

Image hosted by Photobucket.com

Bagaimana rasanya ketika kita masih hidup dan ada film yang dibuat dengan memasukkan karakter kita di dalamnya. Kalo sampe ada film yang berhubungan dengan gua, maka gua minta yang memerankan diri gua adalah Robert De Niro atau Nicholas Cage. He...he...he...

Minggu, 17 Juli 2005 lalu, gua nonton film Gie barengan sama anak-anak Mapala mulai dari no 001 sampai nomer 600an. Nggak semua bisa masuk nonton karena kapasitas gedung bioskop yang hanya muat 260an. Tiga bangku di sebelah kanan gua duduk Herman Lantang yang di dalam film diperankan oleh Lukman Sardi. Para penonton yang terdiri dari M toku (sebutan buat anak Mapala yang tua) ada yang emang seangkatan sama Hok Gie dan Herman. Mereka ini sering banget kasih komentar selama film berlangsung.

Ada adegan waktu Jaka mau ribut dengan Gie tapi Herman maju jadi tameng Gie, kontan orang-orang yang nonton pada sorak-sorak dan teriak, “ Herman….Herman...Herman !!!” Waktu Gie kikuk ngadepin teman perempuannya juga ada celetukan, “Ganti aja sama Herman”.

Filmnya sendiri bagus mengambarkan detail tahun 60an. Setting lokasi, dekorasi, kostum, mobil, motor dan sepeda yang seliweran. Menurut gua untuk orang yang telah mengenal Gie, film ini bisa masuk. Orang yang sudah baca Catatan Harian Seorang Demonstran dan ingin liat visualisasinya pasti pada nonton. Tapi target film juga ditujukan untuk anak SMA. Kayaknya susah juga untuk masuk ke mereka.

Abis nonton gua ngobrol-ngobrol sama salah seorang crew film ini. Ada beberapa cerita menarik dibelakang pembuatan film itu.

Liat bis yang warna kuning itukan ? Nah tuh bis ditemuin rangka doang di daerah Taman Mini kemudian dipermak dan dikasih mesin maka bisa jalan tuh bis dibawa dari Jakarta buat shooting di Semarang. Tapi tuh bis nggak bisa mundur jadinya kalo mau mundur mesti di dorong rame-rame. Ajaib ya.

Liat piringan hitam Simon and Garfungkel juga nggak waktu Radio UI digrebek. Nah peran duo itu cuman sebatas cover piringan hitam aja. Duo ini atau management mereka menolak lagu mereka untuk digunakan di film Asia. Racist !!! Beda sama Blowin in the Wind-nya Bob Dylan dan Dona Dona nya Joan Baez yang boleh dipakai oleh film ini.

Katanya sang sutradara sempet minta ada perahu yang yang berlayar di sungai di belakang rumah pak guru. Inget adegan Gie kecil (diperankan oleh : Jonathan Mulia Adiknya Ongky “Mas Boi’ Alexander) yang mau ngerubutin gurunya sampai ngejar ke rumah Pak Guru itu yang ada di seberang kali. Sampai gua nonton film ini yang ke dua ternyata perahu itu nggak gua liat juga.

Lewat satu bulan setelah gua nonton film itu, di Jakarta tinggal 6 bioskop yang masih memutar film ini. Film yang dibuat selama 3 tahun lebih dengan dana lebih dari 9 milyar rupiah ini, baru bisa balik modal kalau ada 1 juta penonton. Udah nonton belum ?

Makan Siang di Bandung

13.00 : Masuk tol Cikampek
13.20 : KM 25.600 penyempitan jadi 2 jalur
13.35 : KM 46.200 Kerawang Barat / Rengas Dengklok
13.40 : KM 50 beli tahu sumedang buat camilan di rest area
13.50 : KM 66. 400 (Masuk ke Cipularang)
14.05 : Istirahat 5 menit di rest area
14.35 : KM 120 Padalarang
14.45 : Keluar Pasteur
14.45 – 15.30 : Sibuk sms dan telepon
Cari tahu kalo mau makan di Bandung di mana yang enak.
Soalnya kita nggak tahu Bandung dan nggak bawa peta.
15.30 – 16.00 : Jadinya makan di KFC Dag0
Paket 1 sayap original junk food Amerika ......enakkk
16.00 – 20.00 : Explorasi tempat nongkrong : The View, The Valley di Dago atas terus
Sapu Lidi (makan di Sawah) dan The Peak di Ledeng atas
(bingung mau makan malam di mana nih)
20.00 - 22.30 : Perjalanan kembali ke Jakarta
22.30 : Makan malam di Nasi Uduk Mas Dikun, Pasar Minggu.
Iso goreng dan tempe sama nasi uduk.... digoreng di minyak yang udah item.
Junk food Indonesia.... lenih enakkk

Cerita lengkapnya bisa dibaca di blog Tegar
judulnya : "Sehari bersama Bung Rangga"
http://catatankecil.blogs.friendster.com