Tuesday, August 23, 2005

Soe Hok Gie

Image hosted by Photobucket.com

Bagaimana rasanya ketika kita masih hidup dan ada film yang dibuat dengan memasukkan karakter kita di dalamnya. Kalo sampe ada film yang berhubungan dengan gua, maka gua minta yang memerankan diri gua adalah Robert De Niro atau Nicholas Cage. He...he...he...

Minggu, 17 Juli 2005 lalu, gua nonton film Gie barengan sama anak-anak Mapala mulai dari no 001 sampai nomer 600an. Nggak semua bisa masuk nonton karena kapasitas gedung bioskop yang hanya muat 260an. Tiga bangku di sebelah kanan gua duduk Herman Lantang yang di dalam film diperankan oleh Lukman Sardi. Para penonton yang terdiri dari M toku (sebutan buat anak Mapala yang tua) ada yang emang seangkatan sama Hok Gie dan Herman. Mereka ini sering banget kasih komentar selama film berlangsung.

Ada adegan waktu Jaka mau ribut dengan Gie tapi Herman maju jadi tameng Gie, kontan orang-orang yang nonton pada sorak-sorak dan teriak, “ Herman….Herman...Herman !!!” Waktu Gie kikuk ngadepin teman perempuannya juga ada celetukan, “Ganti aja sama Herman”.

Filmnya sendiri bagus mengambarkan detail tahun 60an. Setting lokasi, dekorasi, kostum, mobil, motor dan sepeda yang seliweran. Menurut gua untuk orang yang telah mengenal Gie, film ini bisa masuk. Orang yang sudah baca Catatan Harian Seorang Demonstran dan ingin liat visualisasinya pasti pada nonton. Tapi target film juga ditujukan untuk anak SMA. Kayaknya susah juga untuk masuk ke mereka.

Abis nonton gua ngobrol-ngobrol sama salah seorang crew film ini. Ada beberapa cerita menarik dibelakang pembuatan film itu.

Liat bis yang warna kuning itukan ? Nah tuh bis ditemuin rangka doang di daerah Taman Mini kemudian dipermak dan dikasih mesin maka bisa jalan tuh bis dibawa dari Jakarta buat shooting di Semarang. Tapi tuh bis nggak bisa mundur jadinya kalo mau mundur mesti di dorong rame-rame. Ajaib ya.

Liat piringan hitam Simon and Garfungkel juga nggak waktu Radio UI digrebek. Nah peran duo itu cuman sebatas cover piringan hitam aja. Duo ini atau management mereka menolak lagu mereka untuk digunakan di film Asia. Racist !!! Beda sama Blowin in the Wind-nya Bob Dylan dan Dona Dona nya Joan Baez yang boleh dipakai oleh film ini.

Katanya sang sutradara sempet minta ada perahu yang yang berlayar di sungai di belakang rumah pak guru. Inget adegan Gie kecil (diperankan oleh : Jonathan Mulia Adiknya Ongky “Mas Boi’ Alexander) yang mau ngerubutin gurunya sampai ngejar ke rumah Pak Guru itu yang ada di seberang kali. Sampai gua nonton film ini yang ke dua ternyata perahu itu nggak gua liat juga.

Lewat satu bulan setelah gua nonton film itu, di Jakarta tinggal 6 bioskop yang masih memutar film ini. Film yang dibuat selama 3 tahun lebih dengan dana lebih dari 9 milyar rupiah ini, baru bisa balik modal kalau ada 1 juta penonton. Udah nonton belum ?

1 Comments:

At 5:06 AM, Anonymous Anonymous said...

sudaaaah.

 

Post a Comment

<< Home