Tuesday, February 22, 2005

Dapur Babah

The Dapoer Babah
18, Citadel Weg, Batavia
Telf : 227

Hari Minggu lalu, saya diajak makan di Dapur Babah di Jalan Veteran.
Bau hio langsung menyapa ketika kami masuk di restoran ini.

Kalo liat interiornya yang terpampang banyak foto-foto jadul dan ornamen-ornamen lain boleh dibilang niat juga yang buat restorant ini. Bagus.

Ada beberapa ruang makan di tempat ini. Kami menempati salah satu ruangan dengan meja dan kursi berwarna merah . Di ujung ruangan terdapat pagung batu setinggi 2,5 meter demikian pula di pintu masuk terdapat 2 buah patung batu serupa. Bagian kiri dan kanan ruangan kami terpampang kaligrafi Cina serta beberapa lukisan. Kekurangan dari ruangan ini adalah meja dan kusi makannya. Mejanya terlampau pendek sedangkan kursinya terlalu tinggi sehingga sangat tidak nyaman untuk mencicipi makanan yang disajikan.



Restorant ini dikelola oleh group Hotel Tugu yang punya cabang di Bali, Malang dan Blitar. Saya pikir ini restorant peranakan, saya cari Lontong Cap Go Meh tetepi tidak tersedia akhirnya saya memilih makan Smoor daging dengan kentang.

Kalau mau mencicipi menu yang agak komplit bisa memesan Nasi Campur. Peyeknya luar biasa besarnya disajikan di piring kayu yang diameternya 40 cm, repot tuh kalo mau nyuci. Nasinya juga bukan nasi putih tetapi berwarna hijau, nasi pandan.



Dari dua menu yang saja coba sih rasanya nggak terlalu spesial. Makan di restorant ini memang bukan untuk memanjakan perut kita tepi memanjakan mata. Coba deh kalo nggak percaya.

Wednesday, February 16, 2005

Kemping Kemis (KEKEM)

Imlek dan Suro kemarin kami camping.

Nggak jauh-jauh di Megamendung, Curug Panjang.
Gara-gara liburan panjang dengan hari kejepit jadi makan waktu 2,5 jam sampai di lokasi itu juga gua udah lewat Tapos nembus di Pasar Cisarua terus turun lagi ke Megamendung. Dua mobil lainnya lewat Gadok 3 jam baru sampai. Rencana rendevous di Sate Pak Kodir,bukan Pak Kadir jangan salah nih, batal gara-gara males juga nunggu kelamaan. Kita makan di warung makan dekat pintu masuk Sekolah Reserse Megamendung.

Syarat camping kami adalah 200 meter dari parkiran harus sampai di camping ground. Ternyata 200 meter itu jauh juga ya. Perabotan lenong yang kami bawa cukup merepotkan ketika kami set camp. Dua gitar, satu gitar stand, aqua gallon, dudukan aqua gallon, panggangan, 2 buah termos es dan peralatan nenda membuat harus bolak-balik untuk ngambil semua. Giri yang baru sampai dua hari sebelumnya dari pendakian Cartenz dan Puncak Jaya tergelak melihat bawaan kita.



Berangkat dari Depok jam 11.30 dan jam 16.00 baru selesai mendirikan tenda dan fly sheet. Saat kami datang Camping Ground cukup ramai sehingga kami harus memilih lokasi yang agak terpisah.



Setelah siap, Lawe mulai menyiapkan panggangan dan daging yang di bumbuhi. Dua kompor lap top menyala membuat kentang goreng dan menumis bawang bombay serta sayuran. Dua puluh potong daging telah disiapkan ternyata yang ikut camping hanya 8 orang alhasil satu orang dapat jatah dua potong.
Giri yang potes dia bilang selama di Papua dia makan enak terus di Freeport dia penginnya makan nasi bungkus dan tempe goreng. Kita sih nggak menghiraukan komentarnya dan tetap makan dengan nikmat.



Makan malam selesai mulailah sesi nanyi-nyanyi sayang semua kekenyangan jadi sebelum jam 1 sudah tidur semua.

Esok paginya karena sesi korek-korek info semalam tidak maksimal dilanjutkan pagi ini. Nasi goreng bumbu seadanya enak juga selain cabe dan bawang juga pakai saus untuk steak, lumayan lah.
Monopoli National Geographic saat camping telah menjadi kebiasaan kami yang menang dan main menurut aturannya sendiri ya Lawe. Orang yang bangkrut pertama Topan, Anita nyerah juga dan terakhir Tegar.

Selesai main dan beres-beres tenda hujan turun ya udah nungguin ujan reda dulu baru bisa masukin barang ke mobil. Nggak lama hujan reda dan kita turun makan siang di Raffles. Nggak terlalu enak tapi ya lumayan juga.

Janji kalo camping berikutnya peserta harus tambah banyak.

Surat Identitas

Urusan surat identitas pasti dibutuhin kalo kita berhubungan sama pemerintah. Surat identitas a.k.a KTP keluaran Pemda ini kadang jadi bahan tertawaan kalo lagi ngumpul. Eh...lambang lu Monas apa Kujang.



Setiap kali ada operasi Polisi selain SIM dan STNK pertanyaan berikutnya adalah KTP, apa hubungannya ya antara Polisi sama Identitas kependudukan ? Lain ceritanya kalo operasi Justisi keluaran Dinas Keamanan dan Ketertiban PEMDA DKI Jakarta, wajar mereka nanya KTP.

Tapi apa urusannya juga ya mereka tanya KTP ? Kalo kita pegang KTP dari luar Jakarta terus ? DKI bukan kota tertutup lagi walaupun bisa pusing kalo pergi dan pulang kerja gara-gara naik kendaraan yang majunya cuman satu meter satu menit.

Gua punya pengalaman sama urusan Surat Identitas kaya gini. Bukan KTP tapi Akte Nikah dan Catatan Sipil.
Setelah menunggu hampir 2 bulan buat surat catatan sipil eh masih ada salah eja. Nama istri gua ternyata salah tulis. Wahhhhh.... udah bayar 600 rebu tapi kayaknya nggak ngaruh buat orang yang ngurusin catatan sipil buat negeliat lebih teliti di akte kelahiran. Padahal tuh nama ada di akte kelahiran dan tinggal disalin ke akte catatan sipil. Pastinya buat kaya gini pasti keluar duit lagi padahal bukan kita yang salah.

Masalah akte-akte kaya gini lebih jadi hambatan lagi buat orang non pribumi, ada yang hampir 6 bulan belum jadi tuh akte catatan sipilnya. Padahal kalo mau cerdas, nggak sulit buat ngurusin hal-hal macam kaya gini. Kita mesti lebih sabar atau mereka harus lebih cerdas.

Kambing Panggang ala Mali

Perjalanan kami Sabtu siang itu membawa ke samping Museum Tekstil di Tanah Abang.
Diantara rumah-rumah dan toko pakaian terdapat sebuah kedai Kambing Panggang.
Kedai tanpa dinding itu hanya menyediakan Kambing panggang saja.
Sebuah meja panjang dengan 8 tempat duduk selain panggangan dan dispenser minuman dingin hanya itu perabotan yang ada di warung itu. Poster Osama Bin Laden di dinding dan satu white board kecil untuk menulis pesanan pelanggan.

Pak Haji, demikian panggilan dua orang pegawainya di sana sudah 3 tahun memasak Kambing Panggang di Tanah Abang. Dia asli Mali, Afrika. Jadi kayaknya nggak salah kalo Kambing Panggang ini Masak ala Mali.


Tiap hari dia memesan dua ekor kambing potong dari Bogor, kedai ini buka jam 10.00 dan biasanya jam 13.00 sudah habis. Ketika kita sedang makan jam 12.30 semua daging yang tersedia sudah habis di pesan jadi yang datang setelah itu terpaksa gigit jari. Pelanggannya kebanyakan orang-orang Afrika, banyak juga yang minta dibungkus.

Ketika kita datang yang pertama dilakukan adalah memilih daging yang telah dipanggang setengah matang dari panci. Kita memilih 3 potong daging yang terdiri dari 1 rib dan 2 daging bertulang. harga perpotong berkisar antara Rp 20.000 - Rp. 35.000. Pak Haji langsung memotong-motong pilihan kita menjadi lebih kecil lagi dan membumbuinya. Bumbunya hanya garam dan magie block. Itu saja di Mali susah nyari garam harus import. Setelah itu dipanggang sampai matang. Panggangan ini cukup besar dan membutuhkan arang yang cukup banyak. Saat kami sedang menunggu pesanan ternyata arangnya habis dan harus ditambah dulu butuh waktu juga sampai menjadi bara. Bara bukan api yang ditunggu, kalau sampai timbul api langsung disemprot dengan air dari botol yang dibolongi sehingga apinya mati.


Tak lama kambing panggang pesanan kami matang, disajikan di dalam sebuah piring besar. Ditaburi bawang bombay potong dan sebagai sausnya adalah mustard dan sambal pedas botolan. Teman makan bisa dipilih pisang goreng (enak nih pisangnya) atau nasi. Kami berenam langsung mengeroyok makanan yang tersaji.


Rasanya gurih dan tidak ada bau kambing. Tulang-tulang kami gigiti sampai benar-benar bersih. Tak terasa hidangan sudah habis. Sebelum makan kami harus cuci tangan dulu dan setelah makan diberi hand cleaner, semua Pak Haji yang nyuruh. Menjaga kebersihan kayaknya ?

Selesai makan kepalaku pusing....wah tanda-tanda kolesterol apa asam urat ya ? Minum obat dan tidur obat yang mujarab. Sebelum mau tidur ingat kata-kata Pak Haji waktu kami pamit "Jangan lama-lama ya..." Lho ? Emang kita makan cukup lama tapikan itu karena dia yang masaknya lama sempet nambah areng dulu dan bikin bara lagi malah. Oh maksudnya mungkin "Segera kembali ya...!"

Tuesday, February 08, 2005

Matahari Tenggelam



Pernah melihat matahari tenggelam di Jakarta ?
Beda nggak sih sama yang di Ujung Kulon atau di Mandalawangi ?