Friday, March 31, 2006

Kantong Darah

Darah dari PMI sebenarnya sudah dinyatakan bebas dari HIV dan penyakit menular, tetapi kalau mau lebih yakin lagi Rumah Sakit bisa memeriksa lagi. Tentu saja ada biayanya. Satu kantong darah seharga Rp 123.000,- kalau mau diperiksa ulang oleh Rumah Sakit biaya perkantongnya Rp 125.000,- jadi total satu kantong darah yang telah diperiksa ulang oleh Rumah Sakit seharga Rp 248.000,-

Gua dulu pernah donor darah sebelum terkena Demam Berdarah baru sekitar 5 kali donor beda sama temen gua yang lain yang donor rutin tiap ada kegiatan donor darah. Setelah terkena DB gua belum pernah donor lagi. Pernah tanya boleh nggak donor darah kalo abis kena DB, dijawab suster yang jaga stand donor darah kalo nggak boleh jadinya ya gua belum pernah donor darah lagi nih.

Pas kena DB itu temen-temen udah stand by buat donor darah ke gua, ada temen yang takut banget sama jarum tapi dia paksain juga buat stand by. Makasih ya Pren. Masuk ke RS pas DB dulu trombosit gua hanya 12.000 pada hal normalnya 110.000. Kondisi saat itu sih kaya sakit demam dan mual aja nggak sampe "external bleeding". Untung masih terselamatkan berkat darah juga dari PMI.

Tanggal 1 April besok Pemda DKI Jakarta akan menaikkan harga per kantong darah. Harga darah per kantong untuk RS Pemerintah naik dari Rp 41.000,- menjadi Rp 75.000,- sedangkan untuk RS Swasta naik dari Rp 123.000,- menjadi Rp 200.000 per kantong.

Biaya per kantong yang dikeluarkan tahun 2000 sebesar Rp 87.500,- dan tahun 2005 naik menjadi Rp 159.360,- Biaya itu antara lain untuk jasa operasional pembinaan donor serta penggantian makan donor. Untuk ini dibutuhkan biaya Rp 12.926 tahun 2000 dan Rp 32.160 tiap kantongnya pada tahun 2005. (www.tempointeraktif.com).
Kok nggak ada komponen pemeriksaan darah yang disumbang ya ? Kalo gini sih emang gua mendingan bayar lebih untuk periksa darah ulang di Rumah Sakit.

Gile ya olinya manusia mahal.....

Tuesday, March 14, 2006

Rumah Sakit

Di ruang adminsitrasi

Petugas : KTP-nya bawa bu ?
Ibu : Wah, nggak bawa Pak.
Petugas : Ada yang bawa KTP nggak ?
Ibu : Nggak ada, semuanya buru-buru pergi tadi.
Petugas : Bapaknya mana ?
Ibu : Bapaknya nggak ikut, cuman ibunya sama saya yang ikut
Petugas : Bapaknya kerja apa ?
Ibu : Nggak kerja, kena PHK
Petugas : Kalo Ibunya ?
Ibu : Ibunya juga nggak kerja, saya nenek dari anak yang mau dirawat itu Pak.
Petugas : Bu, untuk perawatan kelas III di sini Rp 70.000,- per hari belum termasuk obat dan dokternya. Depositnya Rp 2.000.000,-
Ibu : Wah, nggak ada duitnya Pak
Petugas : Bu, ini Rumah Sakit yang murni Swasta jadi memang tidak ada subsidi Pemerintah.

Di UGD
dr : Bu, anak ini harus dirawat jangan sampai nggak dirawat di rumah sakit.

Tak lama kemudian saya lihat keluarga itu membayar biaya UGD dan keluar ruang, mungkin mencari Rumah Sakit lain.

Kenapa biaya kesehatan di Indonesia mahal sekali ya ?

Friday, March 03, 2006

MENGHADIRI PELANTIKAN 570 DAN 571

Dua nomer ini merupakan nomer terakhir yang akan dilantik dari angkatan kita, BKP’95 MAPALA UI. Rencana pelantikan mereka di Cibeureum hari Minggu dinihari tanggal 23 Februari 1997.

Rabu, 19 Februari 1997 dengan menggunakan kereta terakhir kita jalan menuju ke Bogor untuk selanjutnya naik bis jurusan Bandung dan turun di pertigaan Taman Safari. Carter angkot untuk mengantar kita sampai ke perkebunan teh. Masuk lewat jalan di samping restaurant Ibu Cirebon kami menuju ke perkebunan teh. Inilah jalur Citeko. Jalur ini sengaja kita pilih karena jaraknya yang tidak terlalu jauh.

Seturun dari angkot dan memulai perjalanan city light di kejauhan bagus banget. Pohon-pohon teh setinggi pinggang menemani perjalanan awal kami. Sepuluh menit jalan sampai di pos timbang teh, kita membuka tenda di sini. Ketika kita membuka tenda mulai cuaca berubah drastis. Kabut tebal dan angin kencang menutupi city light kami. Hujan mulai turun untung nggak perlu buka fly sheet karena pos timbang the ini ada atapnya. Jam 00.46 kita masih masak nasi untuk nasi goreng esok pagi ditemani hujan. Kami membuka tenda di ketinggian 1100 m dpl.

Kamis, 20 Februari 1997, perjalanan hari ini seperti bayangan gua waktu baca cerpen SGA, Negeri Kabut. Gila mulai dari kita jalan jam 07.15 sampai kita mutusin buat nenda jam 15.00 hujan terus, kadang sempat reda tapi nggak lama hujan lagi. Jarak pandang nggak lebih dari 5 meter. Batas hutan kami lewati nggak lama setelah jalan dari pos timbang, daerah Balekambang. Dinginnya nggak ketulungan, angin yang berhebus kencang menambah semriwing tubuh. Raincoat yang kami gunakan sudah nggak mampu lagi menahan hujan tropis ini, baju dan celana kami mulai basah kuyub. Dingin dan letik serta kabut yang makin menambah berkurangnya jarak pandang membuat kami memutuskan untuk membuka tenda jam 15.00 di ketinggian 1920 m dpl

Jam 18.00 kita udah selesai makan malam. Menu spesial malam ini sop, kornet dan telur ditambah sosis bumbu kecap. Hujan terus menghantem tenda kami. Angin menderu-deru sepanjang malam, kami Cuma bisa berharap jangan sampai ada pohon tumbang yang menimpa tenda kami.

Jumat, 21 Februari 1997, hujan nggak berhenti semalaman bahkan sampai pagi ini. Hujan deras dan angin kecang yang membuat pohon meliuk-liuk membuat hati rada menciut. Hujan yang tak ada hentinya membuat kami baru mulai jalan jam 11.05. Gila.... rekor nih mulai jalan tersiang. Siksaan awal adalah waktu harus memakai baju jalan yang kemarin sudah basah kuyub. Nyossss kaya disetrika rasanya. Selama perjalanan hari ini kami ditemani oleh hujan lebat dan angin yang menderu-deru. Kami masuk punggungan Pasir Pangrango dan hujan masih belum berhenti. Jam 15.30 kami membuka tenda di ketinggian 2720 m dpl. Tiga ratus meter lagi sampai di Mandalawangi, kalau mau terus jalan sekitar 2 jam dengan kondisi seperi ini. Kondisi fisik gua yang kayanya mau sakit dan dingin yang menusuk tulang membuat kita mendirikan tenda.

Selasai mendirikan tenda, langsung ganti baju kering dan masuk sleeping bag. Minum Milo hangat membuat badan rada enakan.

Suara angin di luar seperti bunyi ombak di Ujung Kulon, angin masih bertiup kencang dan kabut juga belum mau pergi.

Sabtu, 22 Februari 1997 , tadi malam anginnya ampun-ampunan, kenceng banget. Pagi bangun jam 08.00 tapi kita baru jalan jam 10.30. Jalan sekitar 2 jam sampailah kita di Alun-alun Mandalawangi. Kabut dan angin masih setia menemani perjalanan kami. Tujuan kami adalah Pondok Mandalawangi, tempat kami bisa mendirikan tenda, menjemu pakaian kami yang basah dan masak tanpa takut air hujan mengganggu kami. Kami jalan menuju ke pondok, atap hijau pondok sudah kelihatan kami bergegas menuju ke sana. Tapi kok ada yang aneh ya, atapnya kok hanya setinggi pohon edelweiss di sekitarnya. Ternyata saudara-saudara tuh pondok udah rubuh. Kami Cuma bisa ketawa-tawa aja ngeliat ini. Jadinya kami nenda di batas hutan.

Hujan berhenti belum lama kita memasang tenda dan fly sheet menggigil kedinginan dinaungi kabut tebal. Sore hari kita buat pancake sebelum main menu malam ini yang bertema full sosis. Sempet foto-foto di tengah kabut dengan latar belakang Pondok Mandalawangi yang sudah rubuh. Selesai makan malam kita masih sempet bikin pancake lagi yang belum habis.

Minggu, 23 Februari 1997, semalam kami tidur dengan nyenyak. Bangun jam 05.00 masak nasi goreng dan kornet goreng serta menghabiskan pancake sisa semalam. Rencana jalan jam 07.00 mulur baru jalan jam 07.30. Pertama kali selama perjalanan ini matahari bersinar.... iya matahari bersinar terang. Hujan sudah hilang dan kabut entah pergi kemana. Perjalanan turun lumayan lancar, Jam 12.30 kami sampai di 1/3an Air Terjun Cibeureum. Ternyata tujuan kami untuk menghadiri pelantikan 570 dan 571 tak dapat terlaksana. Karena terhambat di perjalanan kami ketinggalan rombongan, mereka sudah turun sejak jam 09.00. Mulai kita cari alasan untuk bisa keluar Pos PHPA. Kita ngaku dari Cibeureum aja, gara-gara ada yang sakit kita belakangan turun. Bisa lolos juga dari Pos PHPA.

Kita bertiga numpang mandi di rumah Pak Ook, jam 19.00 kita turun sampai di Jakarta jam 00.00. Selesailah perjalanan hujan dan kabut kami, sayang kami tak bisa menghadiri pelantikan 570 dan 571 tapi pengalaman perjalanan ini tak kan ku lupakan. (Didit)

Makasih buat teman perjalanan yang menyenangkan Tajid dan Dodot
Di tulis kembali dari buku harian yang baru dibaca lagi, Sabtu 15 Oktober 2005, setelah sekian lama tersimpan di dalam lemari.

Tulisan ini ada copynya di blog satunya