Jembatan Gantung

Tahu nggak di daerah mana nih Jembatan ? Masih di wilayah DKI Jakarta kok.

Pernah jembatan ini hilang ketika sungai Ciliwung meluap. Air naik sampai sekitar 20 cm di atas jalan jembatan. Banjir bandang terakhir membuat jembatan ini bengkok karena terbebani oleh sampah yang nyangkut, akibatnya jembatan ini nggak lagi lurus tapi agak bengkok.

Ketika banyak motor melintas di atas jembatan ini, orang yang ada di atas jembatan akan tergoyang-goyang hilang keseimbangan dan harus berhenti sejenak, termasuk pengendara motor juga akan hilang keseimbangan. Terombang ambing kekiri dan kanan di atas motor dengan Ciliwung 15 meter di bawah kita .... hemmmm agak kurang nyaman juga.

Kawah Putih

Setelah puas di Situ Patenggang dan ketemu dengan empat generasi keluarga Sarah (Dia datang bersama dua orang anaknya : Mumu dan Juba, Ibunya serta dengan Neneknya), kita menuju ke Kawah Putih.

Dalam perjalanan kembali ke Kawah Putih ini akhirnya kita bertemu dengan John dan Anita yang sedang menuju ke Situ Patenggang. Kita akhirnya janjian di Guest House Kawah Putih. Masuk ke Kawasan Kawah Putih untuk 3 orang dengan satu mobil bayar Rp 13.500,- Rombongan yang datang dari Jumat ternyata sudah kumpul di Guest House. Ada Paido dengan Ade Rahmat dan Toto, Keluarga Yayak, Keluarga Makky, Keluarga Sute, Keluarga Dewi. Guest Housenya terdiri dari empat ruangan tapi kalo mau ke kamar mandi harus di luar dekat pintu gerbang, sewanya 300.000 semalam tanpa listrik. Karena kita bawa tenda gengsi dong kalo tidur di rumah akhirnya kita mengelar tenda di samping Guest House.

Karena hari masih siang sekitar jam 14.00, kita pergi dulu ke Kawah Putih. Ada kendaraan sewaan dari pintu gerbang di depan guest house seperti angkot dengan biaya Rp 5000 perorang. Tapi kita akhirnya naik mobil juga. Formasi masih seperti berangkat ; Inge, Dodot dan Didit. Agak jauh juga sampai di Kawah Putih sekitar 10 menit naik mobil dengan tanjakan yang lumayan dan lebar jalan yang pas untuk dua mobil.

Kawah Putih itu nggak jauh ternyata dari tempat parkir mobil, ketika kita turun ke Kawah nggak terasa bau belerang yang ada pemandangan yang spektakuler. Kawah berwarna hijau dengan benteng lereng gunung yang mengitari seperempat kawah. Terlihat juga asap putih yang mengambang di atas kawah. Bagus banget susah ngomonginnya.



Langsung foto-foto dong, pas kita mau balik ketemu Anita dan John jadinya kita foto-foto lagi. Agenda selanjutnya adalah minum juice strawberry dan mandi air panas.

Kita turun ke Guest House ternyata Keluarga Ari Kalap dan Keluarga Zeky ditambah Mandra dan Manto sudah tiba. Suasana jadi tambah meriah.

Gua dan Dodot pindah ke mobil John, sementara Inge nggak ikut. Sepanjang jalan Ciwidey menuju Kawah Putih banyak tedapat perkebunan Strawberry yang dikelola oleh penduduk. Semuanya mengiklankan petik sendiri. Harga 1 kg strawberry Rp 40.000 kalau petik sendiri. Setelah puas memetik hasil petikan kita akan ditimbang. Kalo gua sih mendingan beli yang udah dipetikin dan di taruh di box. Satu box dihargai Rp 15.000,-

Kita minum juice strawberry, segelas cuman Rp 5000,-. Kalo makan langsung kecut nih strawberry jadi kalo di juice bisa lebih mais karena ditambah gula.



Puas minum strawberry langsung kita ke Kolam Air Panas Cimanggu. Biaya masuk Rp.3.500,- per orang. Kolam renang air panas panasnya terbagi jadi dua kolam satu hanta kuku dan satunya panas. Nggak tercium juga bau belerang di kola mini. Kita milih mandi yang di kamar tambah biaya Rp 5.000,- untuk 30 menit.Siapa juga yang tahan lebihdari 30 menit. Di kamar-kamar yang disewakan ini ada bath tubnya jadi kalo mau berendem bisa ngisi dulu sampai penuh baru berendem. Kalo gua sih mendingan mandi pake gayung aja, lama nunggu bath tubnya penuh.



Enak banget mandiya apalagi kalo berendem ya, sudah puas kita balik semua ke Kawah Putih. Di Kolam Cimanggu ini juga ada beberapa cottages yang disewakan dengan biaya sekitar 250 – 300an ribu. Kolam ini buka 24 jam jadi lu mau berendem jam 02.00 juga bisa asal kuat aja begitu naik ke atas kena angin yang duinginnnn.

Sampai di Guest House Kawah Putih, tenda Zeky dan tenda Mandra sudah berdiri. Tiga tenda menyusul berdiri membentuk lingkaran. Dodot bawa dua tenda yang keren-keren tenda John dan Anita sepertinya tenda Dome tapi begitu didiriin kaya tenda kerucut, terbukti pagi harinya patah salah satu frame atas sehingga bener-bener jadi tenda kerucut.

Menjelang malam Adi PA dan putra serta Faruk bersama keluarga datang. Jam 21.00 walau nggak jadi steak tuna tergantikan dengan bandrek dan ngobrol serta nyanyi-nyanyi bareng tanpa iringan alat musik tapi buku lagu yang tebelnya 500 halaman lebih

Menjelang jam 2 dini hari rombongan terakhir datang Agung, Ucup, Sugi, Cut dan Epu. Kita sih pas mereka dateng udah ngeringkuk di tenda. Dingin banget hiiiii....



Esoknya kita ngumpul buat bikin sedikit film pendek. Ternyata setelah di kumpulin rame juga lho yang datang termasuk anak-anak. Jam 11 Mobil Gua ama John balik lewat jalur berangkat, makan siang di warung Sunda Haur Koneng. Eh... kunci mobil John ketinggalan di dalem mobil pas kita mau pulang jadinya kita sibuk cari akal buka tuh pintu. Mau marahin Anita nggak tega Johnnya soalnya dia sakit abis kebanyakan makan jeruk Bali sampe muntah-muntah. Jam 13.00 kita turun setelah berhasil membuka pintu dan jam 17,00 sampai di Pancoran. Rombongan lainnya sekitar 3-4 mobil pulang lewat jalur Selatan yang nembus ke Cianjur. Untung kita nggak ikut mereka, karena mereka kena macet di puncak 3 jam nggak gerak dan baru jam 01.00 masuk Jakarta.

Situ Patenggang

Kalau saja di Tol Cikampek tidak ada kecelakaan dan kalau saja di Pasar Soreang tidak macet jarak Jakarta sampai ke Situpatenggang pasti bisa kami jalani dalam 3 jam saja.

Sabtu, 9 Juli 2005 jam 07.30 rombongan kami masuk jalan tol dalam kota yang menyambung terus ke tol Cikampek. Dua mobil beriringan di pagi itu menuju ke Ciwidey. Mobil depan berisi John dan Anita sementara mobil satunya berisi Inge, Dodot dan Didit. Rencana awal kita mau naik Mobil John & Anita saja tetapi ketika pagi hari mau berangkat dan Dodot ngumpul di Condet baru ketahuan kalau bawaan kita banyak juga ya…. Pastinya nggak akan masuk ke sedan, Dodot juga nggak tahu kalau mobil Anita dan John sudah ganti sedan beda sama saat persami 1 yang masih Kijang. Alhirnya diputuskan gua juga bawa mobil. Bawaan gua aja satu travel bag gede karena belanja buat semua ditambah matras dan aqua gelas satu dus (sisaan di rumah angkut aja) serta dua kantong plastik buat cemilan di jalan sama sayuran yang baru beli pagi tadi. Dodot bawa karimorr 50an liter, 2 tenda dan satu term a rest dan satu lampu badai coleman yang pake batre. Semua barang itu nggak dipacking di dalem ransel, jadi gembolan dia emang banyak juga. Gua nawarin gimana kalo ganti bawa mobil gua aja, satu mobil nggak usah bawa dua sehingga sesuai dengan himbauan pemerintah untuk menghemat energi tapi nggak disetujui.

Perjalanan relative lancar dengan kesabaran kami melewati macet di Tol Cikampek, ada bekas kecelakaan, barangnya sendiri udah nggak ada tapi karena rasa ingin tahu jadinya tiap orang meluangkan waktu minimal 3 detik untuk mencari-cari di mana mobil yang terlibat kecelakaan itu akibatnya ya hampir 1 jam kami antri sampai bebas dari rasa ingin tahu ini. Masuk tol Cipularang relative lancar juga. Belum bayar waktu kami lewat Tol Cipularang jadi hanya bayar Rp 11.500,- Selisih empat hari untuk lewat Tol Cipularang sudah dikenai biaya Rp 29.000,- Tapi ya setimpal lah jarak dan waktu dengan biaya tol. Keluar tol Kopo nggak jauh langsung terjebak kemacetan pasar Soreang, yang lumayan juga hampir 30 menit mungkin kami jalan merambat membelah kemacetan.

Pom bensin pertama yang kami temui setelah kemacetan langsung isi bensin isi Rp 30.000 langsung penuh lagi. Mobil sudah kenyang sekarang giliran penumpangnya, kita makan siang di warung Padang, selepas macet banyak orang berjualan Jeruk Bali gede-gede harga 7000an, jeruk ini yang bikin Anita sakit gara-gara kebanyakan makan, teler dia pas kita pulang besoknya ke Jakarta. Abis maruk sih.

Jarak dari pintu tol Kopo ke Soreang sekitar 15 km, Soreang ke Ciwidey 11 km, Ciwidey ke Kawah Putih 10 km dan Kawah Putih ke Situ Patenggang 5 km. Sehabis makan siang lancer perjalanan. Masuk ke Ciwidey “Kota Wisata” perjalanan mulai mendaki dan berkelok. Amboi….indah nian hamparan sawah, bukit dikejauhan berganti dengan perkebunan strawberry dan perkebunan teh.

Anita dan John bertemu dengan teman-teman yang telah sampai lebih dahulu di Restaurant Haur Koneng, murah dan enak nih masakan Sunda kita makan pas pulang. Mobil gua udah jauh di atas dan baru dapet berita, males balik arah dan turun lagi kita babals terus ke Situ Patenggang. Sehabis kelokan diantara kebun-kebun teh kami liat sebuah danau dari ketinggian. Turun menuju ke tempat parkir sekitar jam 12.00an yang parkir udah rame banget. Bis dn mobil dari Jakarta, Bandung maupun Jawa Tengah. Masuk ke Situ Patenggang untuk 3 orang dan 1 mobil bayar Rp 10.500,-



Danau ini bisa dikitari dengan perahu sewaan, untuk yang diayuh sendiri bayar Rp 20.000,- kalau mau yang nggak cape bayar Rp 5.000 per orang tapi ngetem sampe 15 orang baru jalan atau mau carter bisa juga Rp 50.000,-

Inge, Dodot dan gua akhirnya jalan-jalan muterin danau yang adem, awalnya Dodot bilang panas-panas kok orang pada pake jaket ya, eh pas kita turun baru deh berrrr anginnya dingin juga ya….

Pasukan Keraton Yogyakarta

Ketika baru lulus SMP, kami berdelapan mendaftar untuk masuk ke Seminari Menengah di Mertoyodan. Selesai test tertulis dan wawancara kami berlibur di Yogyakarta. Pada kesempatan di Yogyakarta ini pertama kali saya mencoba Masangin (masuk lewat dua beringin).

Dua buah pohon beringin yang ada di Alun-alun Selatan Kraton Yogyakarta ini tampak kokoh berdiri. Di kelilingi tembok putih dengan penerangan lampu di empat sisinya. Dua buah beringin ini terdapat di tengah-tengah alun-alun Selatan Keraton Yogyakarta.

Lebih 15 tahun yang lalu ketika saya mencoba Masangin ini hanya dua orang yang bisa melewati kedua beringin ini dengan mata tertutup, saya termasuk salah satu diantaranya. Sisanya nggak ada yang bisa berjalan lurus untuk melewati kedua beringin ini. Jarak yang harus ditempuh sekitar 30-40 meter berjalan di atas rumput tebal dan jarak antara kedua beringin ini yang harus dimasuki sekitar 8-10 meter. Jadi kita seperti berjalan dari tengah lapangan bola dengan mata tertutup dan harus masuk ke gawang. Nah seperti itu kira-kira Masangin.

Anehnya banyak yang berputar-putar nggak nemu arah. Padahal kita tinggal jalan lurus ke depan. Ada yang setelah berjalan 10 meter justru berbalik arah ada yang melenceng jauh ke kiri atau ke kanan sampai ke jalan aspal yang jaraknya lebih dari 100 meter dari dua beringin itu.

Pengalaman ini terulang kembali ketika saya mengunjungi Jogja, ini kedua kalinya saya mencoba. Lima orang yang mencoba dan hanya saya dan Tegar yang bisa masuk ke dua beringin itu. Itupun setelah waktu pertama kali saya kebuang ke kiri dan baru berhasil pada percobaan kedua. Wening bilang, jaman dulu ini merupakan salah satu test untuk bisa menjadi Perajurit Keraton Yogyakarta. He...he...he... Gar, kita udah lolos satu test nih untuk jadi Perajurit Keraton Yogyakarta. Siapa tahu mereka butuh Legiun Asing dari Cibinong.

Sekarang sudah ada yang menyewakan penutup mata, sekali pinjam bayar Rp 2000 satu tutup mata bisa digunakan bergantian. Seharusnya sekarang lebih mudah karena lapangan rumput yang dulu hijau tebal telah terkikis karena banyaknya orang yang mencoba Masangin. Paling nggak bisa meraba dengan kaki kalau sudah menginjak rumput berarti sudah tidak berada di jalur yang seharusnya. Walaupun cara itu diterapkan tetap saja banyak yang nyasar jauh dari tujuan. Ada seorang teman yang bilang kalo ini hanya masalah menjaga keseimbangan saja. Menjaga jalan lurus terus ke depan jangan belok-belok, ternyata sulit juga agar bisa jalan lurus kedepan masuk ke celah antara dua beringin itu.

Sensasi yang saya rasakah lebih dari 15 tahun lalu terulang kembali. Setelah berjalan dengan mata tertutup dan makin mendekati celah antara kedua beringin itu suasana yang saya rasakan justru terasa makin gelap. Walaupun dengan mata tertutup kita bisa merasakan cahaya yang ada justru makin berkurang padahal ada lampu diempat sisi pagar beringin itu. Degup jantung terasa semakin sering mengiringi langkah kaki. Tiap kali langkah terayun mendekati kedua beringin itu justru dada terasa semakin berat seperti ada beban yang ditimpakan. Suasana sekitar serasa sepeti tidak ada orang disekeliling kita padahal teman-teman saya mengiringi perjalanan saya dan berdiri 2-3 meter di dekat saya. Makin lama terasa makin gelap dan akhirnya saya bisa membuka tutup mata setelah tepuk tangan bergema tanda lolos masangin.

Lebih lima belas tahun yang lalu, sekembalinya di Jakarta saya menerima surat bahwa saya diterima di Seminari Mertoyudan. Kata orang kalau kita bisa masuk ke antara dua beringin itu keinginan kita akan terwujud karena ketulusan hati kita.

Seperti kata Jack Palance, " Believe it or not!"


Foto oleh : Wahyu Wening